Jumat, 14 Desember 2012

Makalah Pengendalian Penyakit pada Sapi Potong


I. PENDAHULUAN

1.1.  Latar Belakang
Potensi sapi potong di Indonesia sangat menjanjikan, dengan keadaan tanah yang subur sehingga pakan berupa hijauan yang merupakan kebutuhan sapi seharusnya juga lebih mudah didapatkan. Peternakan sapi telah dikenal sejak lama sebagai usaha sampingan masyarakat Indonesia, akan tetapi baru sedikit yang benar benar mengelolanya sebagai lahan usaha ataupun bisnis. Rata-rata penduduk memelihara sapi potong hanya sebagai harta simpanan saja, padahal potensi peternakan sapi itu sendiri bila dikelola secara baik dan benar sangat besar.
Hal yang perlu mendapatkan perhatian khusus berkaitan dengan kesuksesan ternak sapi potong adalah selalu menjaga kesehatan ternak. Kontrol kesehatan sapi yang baik adalah langkah penting dalam beternak sapi potong. Pengendalian berbagai penyakit menular pada sapi adalah hal yang perlu mendapatkan perhatian, sebagaimana kita tahu bahwa pengendalian penyakit jauh lebih baik daripada pengobatan.
 Hal ini bisa di mengerti dikarenakan bila ternak sapi kita sudah terkena penyakit  otomatis biaya yang dibutuhkan juga akan bertambah, dan bukanlah suatu jaminan bahwa setelah diobati ternak akan sembuh. Karena untuk dapat mencapai kesembuhan dari suatu penyakit ada banyak faktor yang berpengaruh. Jadi hal terbaik adalah mencegah peyakit sapi sebelum menyerang ternak tersebut.

1.2.  Tujuan
1.        Mengetahui manajemen pengendalian penyakit pada ternak potong.
2.        Mengetahui penyakit-penyakit yang menyerang ternak potong.
1.3.  Manfaat
Makalah ini diharapkan dapat menambah wawasan, pengetahuan peserta diklat sapi potong bagi penyuluh dan petugas teknis dilapangan sehingga terjadi keberhasilan dalam tugasnya untuk memberikan penyuluhan dan tindakan terhadap penanggulangan penyakit hewan serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat.

II. PEMBAHASAN

2.1. Penyakit pada Sapi Potong
Penyakit merupakan hal yang sangat merugikan dalam usaha ternak sapi potong, baik usaha pembibitan maupun penggemukkan. Oleh karena itu usaha pencegahan dan pengendalian penyakit sangat diperlukan agar sapi yang dipelihara tetap sehat.
Tanda-tanda sapi sehat adalah sebagi berikut:
  • Nafsu makan besar dan agakrakus
  • Minum teratur (kurang leibih 8 kali sehari)
  • Mata merah, jernih dan tajam, hidung bersih, memamah biak bila istirahat
  • Kotoran normal dan tidak berubah dari hari kehari
  • Telinga sering digerakkan, kaki kuat, mulut basah
  • Temperatur tubuh normal (38,5-39) C dan lincah
  • Jarak/siklus berahi ternak teratur (terutama sapi betina/induk)
Tanda-tanda sapi sakit adalah:
  • Mata suram, cekung, mengantuk, telinga terkulai
  • Nafsu makan berkurang, minumnya sedikit dan lambat
  • Kotoran sedikit, ,mungkin diare atau kering dan keras
  • Badan panas, detak jantung dan pernapasan tidak normal
  • Badan menyusut, berjalan sempoyongan
  • Kulit tidak elastis, bulu kusut, mulut dan hidung kering
  • Temperatur tubuh naik-turun
Dalam peternakan sapi potong ada berbagai macam jenis penyakit, baik itu yang disebabkan manajemen yang kurang baik, bakteri, virus, parasit dan agen penyebab penyakit yang lain.

2.1.1. Penyakit Antrax (Radang Limpa)
Penyakit ini tergolong zoonosis disebabkan oleh bakteri Basillus anthracis. Kuman Antrax dapat membentuk spora dan tahan hidup berpuluh-puluh tahun di tanah, tahan terhadap kondisi lingkungan yang panas, bahan kimia dan desinfektan.
 Oleh sebab itu hewan yang mati karena Antrax dilarang untuk dilakukan pembedahan pada bangkainya agar tidak membuka peluang bagi organisme ini membentuk spora. Faktor yang mempercepat penularan penyakit ini adalah musim panas, kekurangan makanan dan keletihan.
Penularan dari hewan ke hewan terjadi lewat makanan dan minuman yang tercemar bakteri antrax. Infeksi pada hewan juga dapat berasal dari tanah yang tercemar spora Antrax. Bakteri Antrax masuk ke dalam tubuh hewan melalui luka, terhirup bersama udara atau tertelan bersama makanan dan minuman. Penularan antrax ke manusia umumnya terjadi secara langsung yaitu kontak dengan hewan penderita melalui luka, atau bahan asal hewan seperti bulu yang terhirup melalui pernafasan dan melalui saluran pencernaan bagi orang yang memakan daging hewan penderita Antrax.
Gejala klinis yang dapat diamati pada hewan :
·         Umumnya bersifat akut dan per-akut disertai infeksi menyeluruh
·         Kematian mendadak
·         Demam tinggi, gemetar, berjalan sempoyongan, kondisi
·         lemah, ambruk
·         Diare
·         Peradangan pada Limpa
·         Perdarahan berwarna hitam pekat seperti teer dari
·         lubang–lubang kumlah (lubang hidung, lubang anus,
·         pori-pori kulit)
·         Kesulitan bernafas
Gejala klinis pada manusia antara lain :
·       Antrax tipe kulit umumnya ditandai dengan lesi (semacam borok) yang khas dimulai dari bintil kecil berwarna merah, menimbulkan rasa gatal yang kemudian meluas dan terbentuk jaringan parut berwarna hitam
·         Pembengkakan kelenjar limfe regional
·         Infeksi menyeluruh dapat terjadi pada penyakit yangberlanjut
·    Antrax tipe pernafasan umumnya diikuti dengan gejala sesak di daerah dada yang disertai dengan kebiruan dan umumnya diikuti kematian dalam waktu 24 jam
Manajemen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit pada Ternak
2.1.2. Septichaemia Epizootica (SE/Ngorok)
Penyebab penyakit ini adalah kuman Pastuerella multocida serotipe 6B dan 6 E, kuman ini suka hidup ditempat yang dingin dan lembab. Faktor pemicu terjadinya infeksi berupa; cekaman atau stess seperti terlalu banyak dipekerjakan, pemberian pakan yang berkualitas rendah, kandang yang penuh dan berdesakan, dan kondisi pengangkutan yang melelahkan pada ternak.
Penularan dari hewan sakit ke hewan yang sehat atau pembawa terjadi melalui kontak makanan dan minuman serta alat-alat tercemar ekskreta hewan penderita (air liur, urin dan feses). Kuman yang jatuh ke tanah, bila mendapatkan kondisi yang lembab dan dingin dapat berkembang dan menulari hewan ternak yang digembalakan di tempat tersebut.
Gejala Klinis yang dapat diamati :
·         Keluar air liur terus menerus
·         Kesulitan bernafas (ngorok)
·         Kondisi tubuh lemah dan lesu
·         Suhu tubuh meningkat sampai diatas 41 0C
·         Tubuh gemetar
·         Selaput lendir kemerahan
·         Terdapat busung pada kepala, tenggorokan, leher bagian bawah sampai gelambir
·         Pada bentuk dada terdapat tanda-tanda peradangan paru yang diikuti dengan keluarnya ingus dan kesulitan bernafas Pada kondisi kronis hewan menjadi kurus dan sering batuk, nafsu makan terganggu
Pencegahan:

·          Pada daerah bebas SE dilakukan karantina yang ketat terhadap pemasukan hewan ternak ke daerah tersebut.
·          Bagi daerah tertular dilakukan vaksinasi terhadap ternak yang sehat dengan oil adjuvant setidaknya setahun sekali.
·          Bangkai hewan yang sakit dibakar atau dikubur
·          Bersihkan kandang dengan disinfektan
·          Pengobatan dilakukan dengan antibiotika Oxytetracyclin,
·          Streptomycin atau Preparat sulfa (sulfamezathine).
·          Ternak yang tertular dapat dipotong dan dagingnya dapat dikonsumsi dibawah pengawasan dokter hewan. Jaringan yang sudah rusak seperti paru-paru harus dibuang dan dimusnahkan dengan dibakar/dikubur. Karkas yang sangat kurus karena penyakit yang berjalan kronis dimusnahkan.
2.1.3. SURRA (TRYPANOSOMIASIS/Penyakit Mubeng)
Penyakit surra merupakan penyakit parasit yang disebabkan oleh protozoa Trypanosoma evansi. Parasit inimhidup dalam darah induk semang dan memperoleh glukosa sehingga dapat menurunkan kadar glukosa darah induk semangnya. Menurunnya kondisi tubuh akibat cekaman misalnya stress, kurang pakan, kelelahan, kedinginan dan sebagainya merupakan faktor yang memicu kejadian penyakit ini. Penularan terjadi secara mekanis dengan perantaraan lalat penghisap darah seperti Tabanidae, Stomoxys, Lyperosia, Charysops dan Hematobia serta jenis arthropoda yang lain seperti kutu dan pinjal
Gejala Klinis yang dapat diamati :
·          Gejala Umum meliputi demam, lesu, lemah, nafsu
·          makan berkurang, lekas letih.
·          Anemia, kurus, bulu rontok, busung daerah dagu
·          dan anggota gerak dan akhirnya akan mati.
·          Di daerah endemik ternak mungkin terkena infeksi tetapi tidak terlihat adanya gejala.
·          Keluar getah radang dari hidung dan mata.
·          Selaput lendir terlihat menguning.
·          Jalan sempoyongan, kejang dan berputar-putar (mubeng) disebabkan karena parasit berada dalam cairan Cerebrospinal sehingga terjadi gangguan saraf.
·          Pencegahan dapat dilakukan dengan Pembasmian serangga penghisap
Beberapa jenis penyakit yang dapat meyerang sapi potong adalah cacingan, Penyakit Mulut dan Kuku (PMK), kembung (Bloat) dan lain-lain
2.2. Pengendalian Penyakit
Dalam pengendalian penyakit, yang lebih utama dilakukan adalah pencegahan penyakit daripada pengobatan, karena penggunaan obat akan menambah biaya produksi dan tidak terjaminnya keberhasilan pengobatan yang dilakukan. Usaha pencegahan yang dapat dilakukan untuk menjaga kesehatan sapi adalah sapi lama yang menderita sakit agar tidak menular kepada sapi lain yang sehat.
 Berikut ini adalah berbagai cara yang bisa dilakukan untuk mencegah penyakit pada sapi :
1)      Pemanfaatan kandang karantina. Sapi potong bakalan yang baru saja di datangkan ada baiknya dipisahkan terlebih dahulu atau dikarantina. Hal tersebut bertujuan untuk memonitoring keadaan sapi sapi baru tersebut, dan juga sebagai cara untuk mebuat sapi beradaptasi dengan lingkungannya yang baru.Waktu karantina sapi sekitar satu minggu. Pada saat dikarantina, disarankan sapi diberi obat cacing.
2)      Selalu menjaga kebersihan kandang sapi potong. Sapi yang digemukkan secara intensif akan menghasilkan kotoran yang banyak karena mendapatkan pakan yang mencukupi, sehingga pembuangan kotoran harus dilakukan setiap saat jika kandang mulai kotor untuk mencegah berkembangnya bakteri dan virus penyebab penyakit.
3)      Vaksinasi bisa diberikan terhadap sapi potong baru, khususnya untuk berbagai penyakit menular pada sapi. Pemberian vaksin cukup dilakukan pada saat hewan berada di kandang karantina. Vaksinasi yang penting dilakukan adalah vaksinasi penyakit antraks.
Beberapa tindakan pencegahan penyakit yang umumnya dilakukan adalah pemberian obat cacing. Penyakit cacing tidak membahayakan, namun kerugian yang ditimbulkan cukup besar, karena meskipun ternak diberi pakan dengan kualitas yang baik, pertumbuhannya terhambat.
Pada beberapa daerah basah, rumput yang tumbuh (padang rumput) biasanya telah tercemar oleh telur-telur atau bibit-bibit cacing, sehingga perlu dilakukan pemberian obat cacing pada ternak yang mengkonsumsinya. Berbagai obat cacing yang sering digunakan adalah rintal boli, valbazen, dan lain sebagainya. 
2.2.1. Vaksinasi dan Obat- obatan
Pemakaian dan penggunaan vaksin dan obat-obatanmemerlukan kehati-hatian karena akan berakibat fatal dan merugikan peternak.
Beberapa hal yang harus diperhatikan :
1.      Selalu membaca label dan ikuti petunjuk penggunaan
2.      secara hati-hati.
3.      Lakukan vaksinasi sesuai dengan jenis vaksinnya
4.      demikian juga dengan aplikasinya
5.      Jangan menggunakan vaksin dan obat-obat yang
6.      kedaluarsa
7.      Jangan mencampur vaksin dan obat-obatan sekaligus.
8.      Berikan obat-obatan sesuai jangka waktu yang
9.      ditentukan.
10.  Simpan obat-obatan ditempat yang sejuk.
11.  Simpan Vaksin dalam lemari es
12.  Pada saat vaksinasi pakailah alat yang steril.
Vaksinasi dilakukan oleh Dinas Peternakan setempat, jika ada wabah penyakit yang berbahaya, misalnya penyakit mulut dan kuku (PMK), brucellosis (kluron menural), surra, septicemia epizootical/SE 9 (ngorok), antraks (radang limpa) dan tuberkulosis (TBC). Untuk sapi-sapi impor, sebelum masuk ke indonesia biasanya sudah dilakukan vaksinasi terlebih dahulu, baik oleh negara asal ternak maupun petugas karantina ternak pelabuhan


III. KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan
Untuk dapat melaksanakan kegiatan pengendalian penyakit pada usaha budidaya sapi potong perlu diperhatikan :
1.      Pola pakan
2.      Kebersihan kandang
3.      Kebersihan alat
4.      Kebersihan lingkungan
5.      Program Kesehatan Kelompok Ternak (PKKT)
3.2. Saran
Selalu lakukan sanitasi secara rutin baik pada ternak, kandang dan petugas agar pengendalian dapat berjalan dengan baik.



DAFTAR PUSTAKA

Akoso.,B.T., Kesehatan Sapi. Panduan bagi petugas teknos, mahasiswa, penyuluh dan peternak. 1996. Kanisius Yogyakarta.
Anonimous. Live Cycle of Nematoda Image.http//www.dpc.cdc.gov/dpdx. Diakses tanggal 18 Mei 2010
Anonimous. Live Cycle of Trematoda Image. http//www.dpc.cdc.gov/dpdx. Diakses tanggal 18 Mei 2010.
Subronto. Ilmu Penyakit Ternak .1995. Edisi I. Gadjah Mada University Press.

Kamis, 13 Desember 2012

Makalah Kebuntingan


I.  PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang
Kebuntingan adalah keadaan dimana anak sedang berkembang didalam uterus seekor hewan betina. Suatu interval waktu, yang disebut periode kebuntingan (gestasi) terentang dari saat pembuahan (fertilisasi) ovum sampai lahirnya anak. Hal ini mencakup fertilisasi atau persatuan antara ovum dan sperma.
Terjadinya fertilisasi adalah hal yang sangat penting. Sperma haruslah berada didalam saluaran reproduksi betina, uterus untuk suatu jangka waktu tertentu agar dapat membuahi ovum secara efektif. Hal ini disebut kapasitasi spermatozoa. Kapasitasi mencakup pemecahan parsial akrosom bagian luar dan membran plasma, sehoingga enzim akrosom dapat dilepaskan. Enzim-enzim tersebut selanjutnya dapat menimbulkan zona pelusida. Kapasitasi juga mengaktfkan metabolisme sel-sel sperma dengan menaikan laju glikolisis dalam sel dan penaikan metabolisme oksidatif. Kapasitasi dimuali didalam uterus dan berakhir didalam oviduk.
Baik kerja silaia maupun kontraksi muskuler terlibat didalam pergerakan ovum yang telah dibuahi melalui tuba kedalam uterus. Implantasi dari satu blastosit menyebabkan timbulnya wilayah refraktori disekitar didalam endometrium yang menghambat terjadinya implantasi lain didaerah yang sangat berdekatan.
Terdapat bukti-bukti bahwa embrio didekat tuba uterin perkembangannya sedikit lebih maju dibanding yang berada didekat serviks blas tersebar secara teratur didalam uterus sampai tujuh hari setelah perkawinan. Kontraksi uterin barangkali terlibat dalam pergerakan blastoris, karena tidak adanya bukti bahwa pergerakan itu bersipat aktif.
Ketahanan kebuntingan pada hewan dan diakhirnya dengan kelahiran sebagian besar dipengaruhi oleh keseimbangan laju kerja hormon. Kejadian ini dibuktikan oleh kenyataan perubahan perbandingan kadar hormon sering mengakibatkan keguguran.
1.2. Tujuan
Tujuan dari penyusunan makalah ini adalah untuk mengetahui perkembangan kebuntingan pada sapi betina dan hormon-hrmon yang berperan saat kebuntingan.

1.3. Manfaat
Manfaat yang dapat diambil dari makalah ini dapat menjadi salah satu sumber bacaan mengenai perkembangan kebuntingan pada sapi dan hormon-hormon apa saja yang berperan.




II. PEMBAHASAN

2.1. Kebuntingan
Satu periode kebuntingan adalah periode dari mulai terjadinya fertilisasi sampai terjadinya kelahiran normal (Soebandi, 1981) sedangkan menurut Frandson (1992) menyatakan kebuntingan berarti keadaan anak sedang berkembang didalam uterus seekor hewan. Dalam penghidupan peternak,periode kebuntingan pada umumnya dihitung mulai dari perkawinan yang terakhir sampai terjadinya kelahiran anak secara normal.
Periode kebuntingan dimulai dengan pembuahan dan berakhir dengan kelahiran anak yang hidup. Peleburan spermatozoa dengan ovum mengawali reaksi kimia dan fisika yang majemuk, bermula dari sebuah sel tunggal yang mengalami peristwa pembelahan diri yang berantai dan terus menerus selama hidup individu tersebut. Tetapi berbeda dalam keadaan dan derajatnya sewaktu hewan itu menjadi dewasa dan menjadi tua. Setelah pembuahan , yang mengembalikan jumlah kromosom yang sempurna, pembelahan sel selanjutnya bersifat mitotik sehingga anak-anak sel hasil pembelahannya mempunyai kromosom yang sama dengan induk selnya. Peristiwa ini berlangsung sampai hewan menghasilkan sel kelamin (Salisbury, 1985)
Pertumbuhan makhluk baru terbentuk sebagai hasil pembuahan ovum oleh spermatozoa dapat dibagi menjadi 3 periode, yaitu: periode ovum,periode embrio dan periode fetus. Periode ovum dimulai dari terjadinya fertilisasi sampai terjadinya implantasi,sedang periode embrio dimulai dari implantasi sampai saat dimulainya pembentukan alat alat tubuh bagian dalam. Periode ini disambung oleh periode fetus. Lamanya periode kebuntingan untuk tiap spesies berbeda-beda perbedaan tersebut disebabkan faktor genetik
Menurut Frandsion (1992) menyatakan bahwa Periode kebuntingan pada pada kuda 336 hari atau sekitar sebelas bulan; sapi 282 hari atau sembilan bulan lebih sedikit; domba 150 hari atau 5 bulan; babi 114 hari atau 3 bulan 3 minggu dan 3 hari dan anjing 63 hari atau sekitar 2 bulan.
Menurut Salisbury (1985) periode kebuntingan pada semua bangsa sapi perah berlangsung 278-284 hari kecuali brown swiss rata-rata 190 hari.
Perubahan alat kelamin betina selama kebuntingan berlangsung
Menurut Partodiharjo (1982) hewan yang mengalami masa kebuntingan akan menunjukan perubahan bagian-bagian tertentu sebagai berikut:
1. Vulva dan vagina
Setelah kebuntingan berumur 6 sampai 7 bualan pada sapi dara akan terlihat adanya edema pada vulvanya. Semakin tua buntingnya semakin jelas edema vulva ini. Pada sapi yang telah beranak, edema vulva baru akan terlihat setelah kebuntingan mencapai 8,5 sampai 9 bulan.
2. Serviks
Segera setelah terjadi fertilisasi perubahan terjadi pada kelenjar-kelenjar serviks. Kripta-kripta menghasilkan lendir yang kental semalin tua umur kebuntingan maka semakin kental lendir tersebut.
3. Uterus
Perubahan pada uterus yang pertama terjadinya vaskularisasi pada endomertium, terbentuk lebih banyak kelenjar endometrium, sedangkan kelenjar yang telah ada tumbuh lebih panjang dan berkelok-kelok seperti spiral.
4. Cairan Amnion dan Allantois
Volume cairan amnion dan allantois selama kebuntingan juga mengalami perubahan. Perubahan yang pertama adalah volumenya, dari sedikit menjadi banyak; kedua dari perbandingannya. Hampir semua spesies, cairan amnion menjadi lebih banyak dari pada volume cairan allantois, tetapi pada akhir kebuntinan cairan allantois menjadi lebih banyak.
5. Perubahan pada ovarium
Setelah ovulasi, terjadilah kawah bekas folikel. Kawah ini segera dipenuhi oleh darah yang dengan cepat membeku yang disebut corpus hemorrhagicum. Pada hari ke 5 sampai ke-6 korpus luteum telah terbentuk.
2.2. Pemeriksaan kebuntingan pada ternak
Setelah kita mengawinkan ternak harapan kita adalah terjadinya kebuntingan. Pada umumnya peternak kurang mengindahkan harapan ini. Mereka mengetahui ternaknya tidak bunting setelah ternak mereka minta kawin lagi dalam istilah inseminasi buatan disebut non-return. Karena hasrat manusia untuk mengetahui kebuntingan hewannya secepat mungkin setelah perkawinan Partodihardjo (1982) telah mengadakan uji kebuntingan pada berbagai ternak antara lain:
1. Pemeriksaan kebuntingan pada sapi dan kerbau
Kebuntingan pada sapi dan kerbau dapat diketahui dengan melatih diri meraba alat reproduksi hewan betina melalui rektumnya. Pada saat ini pemeriksaan kebuntingan yang terbaik adalah palpasi per rektum.
2. Pemeriksaan kebuntingan pada kuda
Pemeriksaan kebuntingan pada kuda hingga kini telah diketahui metode palpasi per rektum, metode biologik dan metode immunologik. Metode biologik diciptakan oleh ascheim dan zondek yang menggunakan mencit betina sedang metode biologik yang lainnya diciptakan friedman yang menggunakan kelinci betina. Metode immunologik ada 2 macam, yaitu metode yang mengandung radio-aktif dan metode tanpa radio-aktif.
Metode Biologik untuk pemeriksaan kebuntingan pada kuda
Pada dasarnya, dengan metode biologik ini yang diperiksa adalah adanya hormon PMS. Hormon ini mencapai puncak kadar dalam darah pada hari yang ke 50 setelah fertilisasi dan mulai menurun setelah kebuntingan pada hari ke 120. pemeriksaan dilakukan sebelum hari ke 50 atau sesudah 120 hasilnya diragukan.menurut Frandson (1992) menyatakan metode ini dapat dilakukan pada kebuntingan 50 sampai 84 hari.
Metode Imunologik untuk pemeriksaan kebuntingan pada kuda
Pada dasarnya digunakan serum (anti bodi) untuk mendeteksi adanya PMS yang ada dalam darah kuda tersangka. Anti bodi ini berasal dari kelinci yang telah berkali-kali disuntik dengan hormon PMS yang telah dicampur dengan zat pelambat absorpsi, dengan interval 1 minggu. Pada umumnya sistem yang dipakai adalah Complement Fixation Test (CP test) atau Hemoagulation Inhibition Test (HI).

2.3. Hormone yang berperan saat kebuntingan.
2.3.1. Gonadotropin Releasing Hormone (GnRH)
Kadar hormone ini menurut para peneliti lebih tinggi pada saat sapi bunting daripada saat tidak bunting. Lebih tepatnya saat awal kebuntingan kadar hormone ini meningkat. Hormone ini mengalami penurunan dari kelenjar hipofisa disebabkan naiknya kadar esterogen yang menghambat pembentukan hormone tersebut.
GnRH merupakan suatu dekadeptida (10 asam amino) dengan berat molekul 1183 dalton. Hormon ini menstimulasi sekresi follicle stimulating hormon (FSH) dan Lutinizing Hormone (LH) dari hipofisis anterior (Salisbury dan vandemark, 1985). Pemberian GnRH meningkatkan FSH dan LH dalam sirkulasi darah selama 2 sampai 4 jam (Chenault dkk., 1990).
Secara alamiah, terjadinya level tertinggi (surge) LH yang menyebabkan ovulasi merupakan hasil kontrol umpan balik positif dari sekresi estrogen dari folikel yang sedang berkembang. Berikut ini adalah mekanisme kerja GnRH. Hipotalamus akan mensekresi GnRH, kemudian GnRH akan menstimulasi hipofisis anterior untuk mensekresi FSH dan LH. FSH bekerja pada tahap awal perkembangan folikel dan dibutuhkan untuk pembentukan folikel antrum.
FSH dan LH merangsang folikel ovarium untuk mensekresikan estrogen. Menjelang waktu ovulasi konsentrasi hormon estrohen mencapai suatu tingkatan yang cukup tinggi untuk menekan produksi FSH dan dengan pelepasan LH menyebabkan terjadinya ovulasi dengan menggertak pemecahan dinding folikel dan pelepasan ovum. Setelah ovulasi maka akan terbentuk korpus luteum dan ketika tidak bunting maka PGF2α dari uterus akan melisiskan korpus luteum. Tetapi jika terjadi kebuntingan maka korpus luteum akan terus dipertahankan supaya konsentrasi progesteron tetap tinggi untuk menjaga kebuntingan (Adnan dan Ramdja, 1986).
2.3.2. Esterogen.
Pada awal kebuntingan hormone ini sedikit kemudian kadarnya mulai naik pada saat umur kebuntintingan mulai tua. Pada usia kebuntingan 4 bulan akhir sapi akan mengekskresikan 10 X lipat hormone esterogon didalam air seninya dibanding sesudah melahirkan.
2.3.3. Progesterone.
Hormone ini mempunyai peranan palaing penting dan dominant dalam berperan mempertahankan kebuntingan. Kadar hormone yang meningkat menyebabkan berhentinya kerja hormone lain serta menyebabkan berhentinya siklus estrus dengan mencegahnya hormone gonadotrophin-gonadotrophin. Progesteron dihasilkan di corpus luteum dan plasenta. Apabila sekresi hormon ini berhenti pada setia kebuntingan akan berakhir selama beberapa hari.
Progesteron penting selama kebuntingan terutama pada tahap-tahap awal. Apabila dalam uterus tidak terdapat embrio pada hari ke 11 sampai 13 pada babi serta pada hari ke 15 – 17 pada domba, maka PGF2α akan dikeluarkan dari endometrium dan disalurkan melalui pola sirkulasi ke ovarium yang dapat menyebabkan regresinya corpus luteum (Bearden and Fuquay, 2000). Apabila PGF2α diinjeksikan pada awal kebuntingan , maka kebuntingan tersebut akan berakhir.

Progesteron dapat digunakan sebagai test kebuntingan karena CL hadir selama awal kebuntingan pada semua spesies ternak. Level progesteron dapat diukur dalam cairan biologis seperti darah dan susu , kadarnya menurun pada hewan yang tidak bunting. Progesteron rendah pada saat tidak bunting dan tinggi pada hewan yang bunting
Test pada susu lebih dianjurkan dari pada test pada darah, karena kadar
progesteron lebih tinggi dalam susu daripada dalam plasma darah. Lagi pula sample susu mudah didapat saat memerah tanpa menimbulkan stress pada ternaknya. Sample susu ditest menggunakan radio immuno assay (RIA). Sample ini dikoleksi pada hari ke 22 – 24 setelah inseminasi. Teknik koleksi sample bervariasi namun lebih banyak diambil dari pemerahan sore hari. Bahan preservasi seperti potasium dichromate atau mercuris chloride ditambahkan untuk menghindari susu menjadi basi selama transportasi ke laboratorium.
Metoda ini cukup akurat, tetapi relatif mahal, membutuhkan fasilitas laboratorium dan hasilnya harus menunggu beberapa hari. ”Kit” progesteron susu sudah banyak digunakan secara komersial di peternakan-peternakan dan dapat mengatasi problem yang disebabkan oleh penggunaan RIA yaitu antara lain karena keamanan penanganan dan disposal radioaktivnya.. Test dapat dilakukan baik dengan enzyme-linked immuno assay (ELISA) maupun latex aggluination assay.

III. KESIMPULAN DAN SARAN
3.1. Kesimpulan
Ternak yang mengalami kebuntingan akan memperlihatkan tanda –tanda yang dapat kita lihat secara kasat mata atau pun perubahan organ-organ reproduksi seperti adanya perubahan serviks, uterus, cairan amnion dan allantois serta ovarium.
Metode Pemeriksaan kebuntingan pada ternak ada bermacam-macam dan spesifik bagi ternaknya namun ada satu uji yang dapat digunakan oleh ternak secara umum.
3.2. Saran
Pemberian pakan harus benar karna karna akan meningkatkan produksi hormon,  karna hormon mengandung zat-zat makanan (karbohidrat, protein, lemak, vitamin).

DAFTAR PUSTAKA
Hardjopranjoto, S. 1995. Ilmu Kemajiran Pada Ternak. Airlangga University Press. Surabaya.
Hunter, R.H.F, 1981, Fisiologi dan Teknologi Reproduksi Hewan Betina Domestik, Penerbit ITB Bandung dan Universitas Udayana, Hal: 20, 332.
Imron, A. 2008. Biologi Reproduksi. Universitas Brawijaya. Malang.
Luqman, M., 1999. Fisiologi Reproduksi. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Surabaya.
Purwo, H. 2009. Peran Fetus dan Induk dalam Inisiasi Kelahiran. Fakultas Kedokteran Hewan Universitas Airlangga. Surabaya.
Toelihere, M.R, 1981, Ilmu Kemajiran Pada Ternak Sapi, Edisi Pertama, Institut Pertanian Bogor, Hal: 52-57, 76-85.